DALAM DOAKU
dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas
bening siap menerima cahaya pertama, yang
melengkung hening karena akan menerima suara-suara
ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara
yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana
dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ngibaskan bulunya dalam
gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan
bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
dalam doa magribku kau menjelma angin yang
turun sangat pelahan dari nun di sana,
bersijingkat di jalan kecil itu, menyusup di
celah-celah jendela dan pintu, dan menyentuh-
nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi,
dan bulu-bulu mataku
dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa
sakit yang entah batasnya, yang setia mengusut
rahasia demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku
aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah
selesai mendoakan keselamatanmu
(1989)
Selengkapnya...
Kamis, 30 Desember 2010
Dalam Doaku Oleh Sapardi Djoko Damono
Senin, 27 Desember 2010
Orang-Orang Miskin oleh W.S. Rendra
ORANG-ORANG MISKIN
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergelutan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang Negara ini kaya
kerna orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang Negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Blanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu hindarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik jadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu. Kuman-kuman sipilis dan t.b.c. dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programa gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita, atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah:
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim.
(4 Februari 1978)
Selengkapnya...
Sabtu, 25 Desember 2010
Cerita Buat Dien Tamaela Oleh Chairil Anwar
CERITA BUAT DIEN TAMAELA
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
Beta Pattiradjawane
Kikisan laut
Berdarah laut.
Beta Pattiradjawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.
Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kirim datu-datu!
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau …
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
(1946)
Siapa Dien Tamaela?
Puisi ini ditulis Chairil Anwar untuk seorang sahabatnya yang bernama DIEN TAMAELA dari Maluku, salah seorang sahabat Chairil dalam debat Sastra Angkatan Pujangga Baru. DIEN TAMAELA adalah seorang Penulis sekaligus Kritikus Sastra yang tinggal di Holland/Belanda.
Sementara PATTIRADJAWANE adalah Vam/Marga (nama keluarga) khusus orang Maluku.
Disamping Nama itu merupakan Vam/Marga, nama itu juga merupakan Simbol Keperkasaan orang-orang Maluku dalam kehidupan sehari-hari mereka di sana. Pattiradjawane di yakini oleh orang-orang Maluku (zaman dulu) sebagai penunggu Pulau-pulau di sana.
Dalam Puisi ini Chairil Anwar menggambarkan Dien Tamaela sebagai Pattiradjawane yang selalu menjadi kawan dan lawan berat sekaligus guru bagi Chairil Anwar dalam pengembangan Puisi-puisinya.
Disinilah letak kehebatan Chairil Anwar dalam membuat sajak...dia bukan saja kagum pada Dien Tamaela tapi Chairil juga sangat menguasai kehidupan Sosiologis orang-orang Maluku jaman itu. (Yahoo Answer)
Selengkapnya...
Kamis, 23 Desember 2010
Krawang – Bekasi Oleh Chairil Anwar
KRAWANG – BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang – Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bias memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang – Bekasi.
(1948)
Selengkapnya...
Selasa, 21 Desember 2010
Tangis oleh W. S. Rendra
Ke mana larinya anak tercinta
yang diburu segenap penduduk kota?
Paman Doblang! Paman Doblang!
Ia lari membawa dosa
tangannya dilumari cemar noda
tangisnya menyusupi belukar di rimba.
Sejak semalam orang kota menembaki
dengan dendam tuntutan mati
dan ia lari membawa diri
Seluruh subuh, seluruh pagi.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Ke mana larinya anak tercinta
di padang lalang mana
di bukit kapur mana
mengapa tak lari di riba bunda?
Paman Doblang! Paman Doblang!
Pesankan padanya dengan angin kemarau
ibunya yang tua menunggu di dangau.
Kalau lebar nganga lukanya
mulut bunda „kan mengucupnya.
Kalau kotor warna jiwanya
ibu cuci di lubuk hati.
Cuma ibu yang bisa mengerti
ia membunuh tak dengan hati.
Kalau memang hauskan darah manusia
suruhlah minum darah ibunya.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Kataka, ibunya selalu berdoa.
Kalau ia kan mati jauh di rimba
suruh ingat marhum bapanya
yang di sorga, di imannya.
Dan di dangau ini ibunya menanti
dengan rambut putih dan debar hati.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Kalau di rimba rembulan pudar duka
katakan, itulah wajah ibunya.
Selengkapnya...
Jumat, 17 Desember 2010
Kembali Ke Melbourne
Kami kembali ke jalan yang pernah kami lalui,
lebih kaya dengan keheningan dan nama-nama lembut
seperti Danau Wallaga, desa Umbara.
Tilba Tilba atau Sungai Thurra.
Aku sudah menyaksikan hutan hujan dirawat
seperti paman yang kaya di bagian kota yang mewah.
Aku menyusuri pantai-pantai yang
semampai sendirian
kecuali kehadiran
pohon-pohon para yang berdansa
seperti rangka pada banyak bayangan
air pasang pada ujung petang.
Aku memestakan hatiku
di rumah peternakan beratap kaleng
yang jauh dari mana-mana
dan berhenti menghitung ternak
di dataran Victoria.
Jembatan tua di Genoa
berdiri menghormati mereka yang
melawan birokrasi untuk menyelamatkannya.
Ada pohon-pohon yang menghitam karena api
dan tunggul-tunggul tua
menantang seperti pahlawan perang.
Aku merasa seperti salah satu yang hidup
ketika jalan-jalan di Melbourne
digerayangi cahaya yang menerangi jalan kami pulang.
Jika aku kehilangan arah
dan tersesat di angin,
Aku akan menengadah — begitulah! Aku menengadah.
Return to Melbourne 2003: 25
Selengkapnya...
National Dog Week
[My dog] loved everything about my
mother except her high-heeled shoes.
When she dressed up,
he would bark at her feet,
and occasionally one of her shoes
would turn up in a neighbor's flowerbed.
Thomas Wharton, Illustrator
Dogs have given up many of their natural ways
to cross the boundaries between our species
and join our families; for this,
each dog deserves lifelong care and protection.
Michael J. Rosen, Author
Selengkapnya...
Selasa, 07 Desember 2010
Pabila Waktu Berlalu - Park In Hwan
PABILA WAKTU BERLALU
Biarpun aku lupa namanya sinar mata dan bibirnya
ia tetap dalam hatiku.
tatkala angin bertiup
dan hujan luruh
takkan kulupa bayangan tiang lampu di luar jendela.
cinta sudah berakhir
masa lalu hanya kenangan tepi danau di musim panas itu
taman di musim gugur
di atas bangku daun-daun berguguran daun-daun lebur bersama tanah
cinta kita pun sirna
seperti ditutupi daun-daunan
biarpun aku lupa namanya
sinar mata dan bibirnya
tapi is tetap dalam hatiku
tetap mengisi hatiku yang sepi.
Oleh Park In Hwan
Selengkapnya...
Life and Work
"When you face the hardest things in life with will and hard work that you learn the most" (Nathan-James Scott OTH) Selengkapnya...